Radius: Off
Radius:
km Set radius for geolocation
Search

Butet Manurung:Heroes of Asia Award 2004

Butet Manurung:Heroes of Asia Award 2004

Namanya Saur Marlinang Manurung. Teman-temannya biasa memanggilnya Butet. Dia merasakan betul ketidakberdayaan Orang Rimba yang tak bisa baca tulis saat mereka seringkali dimanfaatkan “orang terang”. Orang terang adalah sebutan yang diberikan Orang Rimba terhadap seseorang di luar komunitas mereka.

Orang Terang sering menipu mereka. Tanah mereka kerap dirampas lewat selembar surat perjanjian. Para perampas itu sering mengatakan pada mereka jika selembar kertas itu adalah sebuah penghargaan dari kecamatan, kemudian mereka diberi uang yang jumlahnya sangat sedikit. Setelah itu mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol di atas sehelai kertas. Karena buta huruf, mereka turuti saja apa kemauan orang terang, mereka tidak menyadari bahwa itu adalah penipuan.

Kini berkat jerih payah Butet yang telah mengabdikan dirinya untuk mengajar baca-tulis bagi suku Anak Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dan Bukit 30, Jambi, sejak 1999 ini. Meski sempat mendapat penolakan dari masyarakat Rimba itu sendiri karena menganggap pendidikan merupakan budaya luar dan bukan budaya Orang Rimba.

Namun Butet yang selalu optimis dan pantang menyerah ini berhasil meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Para anak-anak Suku dalam pun sudah dapat lebih teliti. Ketika akan melakukan proses jual-beli, membaca akta perjanjian, dan dapat menghitung sehingga tidak lagi menjadi korban penipuan.

Sokola Rimba (sekolah rimba) yang dia bangun bukanlah sebuah sekolah formal yang lazimnya ada di masyarakat, yakni berbentuk sepetak bangunan tembok dan beratap genteng. Sokola itu hanya berbentuk dangau kecil tak berdinding yang bersifat nomaden. Jadi jika tak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan.

Jika ditanya, dimana alamat Sokola Rimba itu, maka dengan mudah Butet menjawab, “Pada koordinat 01′ 05′ LS – 102′ 30′ BT.” Karena sentra sekolah itu tak pasti desa maupun kecamatannya.

Dalam pola pengajaran, Butet menerapkan cara belajar yang berbeda, mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Misalnya, A seperti atap, C seperti pegangan periuk, ucapkan M dengan mulut dikatupkan. Huruf pun dirangkai dalam 14 kelompok berpasangan. Berkat metode mengajarnya ini, tahun 2001 Butet dianugrahi “The Man and Biosphere Award” dari LIPI-UNESCO.

Begitupun saat murid-muridnya mulai menulis. Lulusan antropologi Universitas Padjadjaran membagikan buku tulis bergaris, pensil, dan pena. Bagi murid yang tidak kebagian alat-alat sekolah, mereka mengambil ranting dan menggarisi di atas tanah. Tak jarang, saat tiba waktunya menggambar, salah satu murid menangkap seekor kijang kecil. Binatang itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.

Untuk mengatasi kebutuhan jumlah pengajar, Butet membuat sistem melatih anak-anak yang sudah mahir untuk menjadi guru. Butet mengistilahkan tim kecilnya ini sebagai kader guru. Dengan 14 orang kader guru angkatan pertama Sokola Rimba inilah Butet terus merangsek ke jantung rimba. Dalam buku Sokola Rimba, Butet banyak membahas tentang suka dukanya dalam memberikan pendidikan pada orang rimba.
Butet yang selalu optimis dan pantang menyerah ini berhasil meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Para anak-anak Suku dalam pun sudah dapat lebih teliti. Ketika akan melakukan proses jual-beli, membaca akta perjanjian, dan dapat menghitung sehingga tidak lagi menjadi korban penipuan.

Dia masuk ke dalam jajaran wanita berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi Oktober 2007, menempati peringkat 11 dari 99 perempuan paling berpengaruh di Indonesia dengan skor 94,7. Diatas Yenny Wahid yang memiliki skor 94,5. Sementara itu, peringkat pertama dipegang Megawati Soekarnoputri dengan skor 98,5..

Berawal dari Iklan

Saat merasa jenuh menjadi pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon pada medio 1999, pemilik dua gelar kesarjanaan sastra Indonesia dan antropologi dari Universitas Padjajaran ini membaca sebuah iklan di harian Kompas: “Dicari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi.” Bunyi iklan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Informasi Konservasi (Warsi) itu menggugahnya. “Mungkin inilah yang kucari,” kata batin wanita kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972 ini.

Pada tujuh bulan pertama ketika berada di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, dimana Orang Rimba berada, Butet tidak langsung mengajar. Dia harus meriset berbagai kehidupan Orang Rimba mulai dari pola pengasuhan anak, hubungan orangtua dengan anak, hubungan antar anak sambil berbaur dengan mereka.

Selain pendidikan dasar, baca, tulis dan hitung, dia menerapkan pula pola pendidikan advance yaitu pengetahuan tentang dunia luar, life skill, dan pengenalan tentang organisasi, sehingga bisa menjadi mediator ketika mereka bersinggungan dengan dunia luar, agar mereka tak mudah dieksploitasi lagi.

Selama delapan tahun, wanita penerima anugerah “Woman of The Year” tahun 2001 di bidang pendidikan oleh televisi swasta Anteve ini, menggerakkan Sokola-Kelompok Pendidikan Alternatif. Kini, Sokola Alternatifnya sudah menyebar di 10 daerah, diantaranya Jambi, Aceh, Makassar, Bulukumba (Sulawesi), Flores, Pulau Besar dan Gunung Egon, Halmahera, Klaten, Bantul, dan Kampung Dukuh (Garut).Sayang, Kampung Dukuh sudah berhenti, jadi tersisa hanya sembilan.

Wanita yang juga penerima penghargaan dari majalah Time sebagai “Heroes of Asia Award 2004” dan peraih “Woman of The Year” bidang pendidikan oleh televisi swasta Anteve pada tahun 2004 ini, selalu merasa nyaman di hutan karena sejak masih mahasiswa sudah akrab dengan hutan. Karena begitu masuk ke sana, menurutnya, seakan jarum jam berhenti, identitas gelar sarjana yang dimilikinya terlupakan dan yang paling membuatnya terharu dan tak akan dilupakan, saat semuanya memanggilnya “Bu Guru”.

 

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/3178-ibu-guru-di-hutan-belantara
Copyright © tokohindonesia.com